Jumat, 11 April 2008

DAMPAK PERUBAHAN IKLIM PADA SEKTOR PERTANIAN


Perubahan iklim global akan mempengaruhi setidaknya tiga unsur iklim dan komponen alam yang sangat erat kaitannya dengan pertanian, yaitu: (a) naiknya suhu udara yang juga berdampak terhadap unsur iklim lain, terutama kelembaban dan dinamika atmosfer, (b) berubahnya pola curah hujan dan makin meningkatnya intensitas kejadian iklim ekstrim (anomali iklim) seperti EI-Nino dan La-Nina, dan (c) naiknya permukaan air laut akibat pencairan gunung es di kutub utara.

Peningkatan Suhu Udara

Laju akumulasi fotosintat bersih untuk kebanyakan tanaman tropik, terutama yang termasuk ke dalam kelompok tanaman C-III, cenderung turun dengan meningkatnya suhu udara. Oleh sebab itu, peningkatan suhu akibat perubahan iklim sangat berpengaruh terhadap produktivitas tanaman, terutama tanaman semusim dan meningkatnya serangan hama penyakit.

Kejadian Iklim Ekstrim (Anomali)

Selain menurunkan produktivitas, pergeseran musim dan peningkatan intensitas kejadian iklim ekstrim, terutama kekeringan dan kebanjiran, juga menjadi penyebab penciutan dan fluktuasi luas tanam serta memperluas areal pertanaman yang akan gaga I panen, terutama tanaman pangan dan tanaman semusim lainnya. Oleh sebab itu perubahan iklim dan kejadian iklim ekstrim seperti EI-Nino dan La-Nina akan mengancam ketahanan pangan nasional, dan keberlanjutan pertanian pada umumnya. Sebagai gambaran, satu kali kejadian EI-Nino (Iemah-sedang) dapat menurunkan produksi padi nasional sebesar 2-3%. Jika iklim ekstrim diikuti oleh peningkatan suhu udara maka penurunan produksi padi akan lebih tinggi.

Peningkatan Permukaan Air Laut

Selain akan menciutkan luas lahan pertanian akibat terendam air laut, peningkatan permukaan air laut juga akan meningkatkan salinitas (kegaraman) tanah sekitar pantai. Salinitas pada tanah bersifat racun bagi tanaman sehingga mengganggu fisiologis dan fisik pada tanaman, kecuali tanamanjtumbuhan laut dan pantai atau varietas adaptif. Salinitas pada padi sangat erat kaitannya dengan keracunan logam berat, terutama Fe dan AI. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai garis dan hamparan pantai yang sangat panjang, sehingga penciutan lahan pertanian akibat peningkatan permukaan air laut menjadi sangat luas.

STRATEGI ANTISPASI DAN PENANGGULANGAN

Untuk menghadapi penyimpangan iklim, Departemen Pertanian telah menyusun strategi antisipasi dan penanggulangan yang dipilah atas: (a) strategi antisipasi, (b) strategi mitigasi, dan (c) strategi adaptasi.

Strategi antisipasi ditujukan untuk menyiapkan strategi mitigasi dan adaptasi berdasarkan kajian dampak perubahan iklim terhadap (a) sumberdaya pertanian seperti pola curah hujan dan musim (aspek klimatologis), sistem hidrologi dan sumberdaya air (aspek hidrologis), keragaan dan penciutan luas lahan pertanian di sekitar pantai; (b) infrastrukturjsarana dan prasarana pertanian, terutama sistem irigasi, dan waduk; (c) sistem produksi pertanian, terutama sistem usahatani dan agribisnis, pola tanam, produktivitas, pergeseran jenis dan varietas dominan, produksi; dan (d) aspek sosial-ekonomi dan budaya.

Berdasarkan kajian tersebut ditetapkan strategi yang harus ditempuh Dalam upaya: (a) mengurangi laju perubahan iklim (mitigasi) melalui penyesuaian dan perbaikan aktivitasjpraktek dan teknologi pertanian, dan (b) mengurangi dampak perubahan iklim terhadap sistem dan produksi pertanian melalui penyesuaian dan perbaikan infrastruktur (sarana dan prasarana) pertanian dan penyesuaian aktivitas dan teknologi pertanian (adaptasi).

Strategi mitigasi. Walaupun tidak sepenuhnya benar, sebagai emitor terbesar oksigen (0) dari hutan dan areal pertaniannya, Indonesia juga dituding sebagai negara terbesar ketiga dalam mengemisi GRK, terutama dari sistem pertanian lahan sawah dan rawa, kebakafan hutan/lahan, emisi dari lahan gambut. Oleh sebab itu, Indonesia dituntut (sesuai dengan Kiyoto Protocol) untuk senantiasa berupaya mengurangi (mitigasi) GRK, antara lain melalui: ,(a) CDM (Clear; Development Mechanism) (b) perdagangan karbon (carbQn trading) melalui pengembangan teknologi budidaya yang mampu menekan emisi GRK, dan (c) penerapan teknologi budidaya seperti penanaman varietas dan pengelolaan lahan dan air dengan tingkat emisi GRK yang lebih rendah
Indonesia juga dituding sebagai negara terbesar ketiga dalam mengemisi GRK, terutama dari sistem pertanian lahan sawah dan rawa, kebaka~an hutan/lahan, emisi dari lahan gambut. Oleh sebab itu, Indonesia dituntut (sesuai dengan Kiyoto Protocol) untuk senantiasa berupaya mengurangi (mitigasi) GRK, antara lain melalui: .(a) CDM (Clear; Development Mechanism) (b) perdagangan karbon (carbQn trading) melalui pengembangan teknologi budidaya yang mampu menekan emisi GRK, dan (c) penerapan teknologi budidaya seperti penanaman varietas dan pengelolaan lahan dan air dengan tingkat emisi GRK yang lebih rendah.

Strategi adaptasi adalah pengembangan berbagai upaya yang adaptif dengan situasi yang terjadi akibat dampak perubahan iklim terhadap sumberdaya infrastruktur dan lain­lain melalui (a) reinventarisasi dan redelineasi potensi dan karakterisasi sumberdaya lahan dan air; (b) penyesuaian dan pengembangan infrastruktur pertanian, terutama irigasi sesuai dengan perubahan sistem hidrologi dan potensi sumberdaya air; (c) penyesuaian sistem usahatani dan agribisnis, terutama pola tanam, jenis tanaman dan varietas, dan sistem pengolahan tanah.

PROGRAM AKSI DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Menghadapi perubahan iklim yang akan mengancam keberlanjutan pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian sejak 2007 telah menetapkan berbagai langkah antisipasi, antara lain melakukan kajian dan penelitian tentang dampak perubahan iklim, mengidentifikasi dan mengembangkan teknologi adaptif seperti varietas unggul berumur genjah, toleran salinitas, toleran kekeringan, toleran genangan, dan tahan hama penyakit, teknologi budidaya (pengelolaan lahan/tanah, air, tanaman dan organisme), dan mengembangkan berbagai teknologi pengelolaan dan pemanfaatan air.

Mulai tahun 2008, Departemen Pertanian akan meluncurkan program penelitian dan pengembangan terpadu tentang kajian dampak, penyiapan strategi dan teknologi dalam menghadapi perubahan iklim global. Program tersebut dikemas dalam bentuk konsorsium yang melibatkan berbagai lembaga penelitian dan perguruan tinggi, yang dikoordinasikan oleh Badan Litbang Pertanian.

INOVASI TEKNOLOGI MITIGASI PERU BAHAN IKLlM

A. Varietas Unggul Rendah Emisi GRK

Padi sawah termasuk salah satu sumber utama emisi gas metan, dengan volume E}I1lisi berkisar antara 20-100 Tg CH4 per tahun (IPCC 1992). Indonesia dengan luas areal tanam padi sawah 10,6 juta ha diperkirakan menyumbang sekitar 1 % dari total emisi gas metan global (Neue dan Roger, 1993).

Emisi gas metan dari lahan sawah ditentukan oleh perbedaan sifat fisiologi dan morfologi varietas padi. Kemampuqp varietas mengemisi gas CH4 bergantung kepada rongga aer'enkhima, jumlah anakan, biomassa, sistem perakaran, dan aktivitas metabolisme. Penelitian pad a lahan sawah tadah hujan dalam peri ode 1996-2000 menunjukkan varietas Ciherang, Cisantana, Tukad Balian, dan Way Apo Buru menghasilkan emisi gas CH4 yang rendah. Keempat varietas juga tahan terhadap hama dan penyakit utama, antara lain wereng coklat biotipe 2 dan biotipe 3.

CIHERANG

Umur tanaman : 116-125 hari
Tekstur nasi : Pulen
Kadar amilosa : 23%
Rata-rata hasil : 6,0 t/ha
Potensi hasil : 8,5 t/ha
Ketahanan terhadap
- Hama : Tahan wereng coklat biotipe 2 dan agak tahan biotipe 3
- Penyakit Tahan hawar daun bakteri strain III dan IV
Anjuran tanam : : Di lahan sawah irigasi dataran rendah sampai 500 m dpl
Dilepas tahun : 2000

CISANTANA

Umur tanaman : 118 hari
Tekstur nasi : Pulen
Kadar amilosa : 23,0%
Rata-rata hasil : 5,0 t/ha
Potensi hasil : 7,0 t/ha
Ketahanan terhadap
- Hama : Agak tahan wereng cokelat biotipe 2 dan 3
- Penyakit : Cukup tahan hawar daun bakteri strain III dan rentan strain IV
Anjuran tanam : Di lahan sawah irigasi dataran rendah sampai 500 m dpl, dapat ditanam pada lahan irigasi kurang subur
Dilepas tahun : 2000

TUKAD BALIAN

Umur tanaman : 105-115 hari
Kadar amilosa : 21%
Rata-rata hasil : 4,0 t;ha
Potensi hasil : 7,0 t;ha
Ketahanan terhadap
- Hama : Agak tahan twereng cokelat biotipe 3
- Penyakit : Agak tahan hawar daun bakteri strain VIII, tahan penyakit tungro
Anjuran tanam : Dapat dikembankan di daerah endemik tungro, khususnya Bali dan NTB
Dilepas tahun : 2000

WAY APO BURU

Umur tanaman : 115-125 hari
Tekstur nasi : Pulen
Kadar amilosa : 23%
Rata-rata hasil : 5,5 t/ha
Potensi hasil : 8,0 t/ha
Ketahanan terhadap
- Hama : Tahan wereng coklat biotipe 2 dan rentan biotipe 3
- Penyakit : Tahan hawar daun bakteri strain III dan IV
Anjuran tanam : Di lahan sawah irigasi dataran rendah sampai sedang (600 m dpl)
Dilepas tahun : 1998

B. Teknolgi Pemupukan, Pengelolaan Tanah dan Air

Emisi gas metan dapat direduksi hingga 17,3% dengan penggunaan pupuk ZA, sedangkan dengan pupuk urea pril hanya mereduksi 8,0% dibandingkan dengan pertanaman padi tanpa pupuk urea.

Teknologi tanpa olah tanah mampu mereduksi laju emisi gas metan 31,5-63,4% dibanding teknologi olah tanah sempurna. Demikian juga teknologi irigasi berselang (intermintten irrigation), selain menghemat air, juga berperan dalam mereduksi emisi gas matan 34,3-63,8% dibandingkan dengan pertanaman yang digenangi terus-menerus.