JUMLAH penduduk Indonesia yang sekarang telah mencapai lebih dari 200 juta jiwa, menyebabkan kebutuhan pangan nasional makin besar. Untuk memenuhinya, maka kapasitas dan produktivitas pertanian Indonesia harus ditingkatkan. Namun upaya peningkatan kapasitas dan produktivitas pertanian Indonesia masih menghadapi beberapa kendala cukup serius, di antaranya serangan hama dan penyakit tanaman.
Sejauh ini kerugian yang dialami sektor pertanian Indonesia akibat serangan hama dan penyakit mencapai miliaran rupiah dan menurunkan produktivitas pertanian sampai 20 persen.Menghadapi seriusnya kendala tersebut, sebagian besar petani Indonesia menggunakan pestisida kimiawi. Upaya tersebut memberikan hasil yang cepat dan efektif. Kenyataan ini menyebabkan tingkat kepercayaan petani terhadap keampuhan pestisida kimiawi sangat tinggi. Sejalan dengan hal itu, promosi dari perusahan pembuat pestisida yang sangat gencar semakin meningkatkan ketergantungan petani terhadap pestisida kimiawi. Seperti halnya kebutuhan pupuk yang terus meningkat, kebutuhan pestisida juga memperlihatkan pertumbuhan tiap tahun. Rata-rata peningkatan total konsumsi pestisida per tahun mencapai 6,33 persen, namun pada kenyataannya di lapangan diperkirakan dapat mencapai lebih dari 10 – 20 persen. Di lain pihak, penggunaan pestisida kimiawi yang berlebihan memberi dampak negatif terhadap lingkungan dan manusia. Keseimbangan alam terganggu dan akan mengakibatkan timbulnya hama yang resisten, ancaman bagi predator, parasit, ikan, burung dan satwa lain. Salah satu penyebab terjadinya dampak negatif pestisida terhadap lingkungan adalah adanya residu pestisida di dalam tanah sehingga dapat meracuni organisme nontarget, terbawa sampai ke sumber-sumber air dan meracuni lingkungan sekitar. Bahkan, residu pestisida pada tanaman dapat terbawa sampai pada mata rantai makanan, sehingga dapat meracuni konsumen, baik hewan maupun manusia. Bahkan akhir-akhir ini diantisipasi adanya kontaminasi pestisida pada air susu ibu. Keracunan akibat kontak langsung dengan pestisida dapat terjadi pada saat aplikasi.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sampai tahun 2000 mencatat sedikitnya terjadi tiga juta kasus keracunan pestisida setiap tahun dengan 220.000 korban jiwa. Sejumlah dampak negatif penggunaan pestisida seperti telah disebutkan di atas, mendorong dibuat metode lain yang dapat dilakukan untuk mengurangi penggunaan pestisida dalam usaha pemberantasan hama dan penyakit tanaman. Harga pestisida kimiawi cukup tinggi sehingga membebani biaya produksi pertanian. Dalam hitungan petani, biaya komponen pestisida mencapai 25 – 40 persen dari total biaya produksi pertanian. Tingginya harga pestisida kimiawi tersebut disebabkan bahan aktif pestisida masih diimpor. Depresiasi nilai rupiah terhadap dolar Amerika menyebabkan harga pestisida kimiawi semakin tidak terjangkau oleh petani. Dalam kondisi pertanian Indonesia saat ini dengan harga komponen pestisida yang tinggi, maka dapat diramalkan bahwa usaha tani menjadi tidak menguntungkan karena tidak dapat diandalkan sebagai sumber pendapatan yang layak. Kondisi tersebut tentu saja amat merugikan pembangunan bidang pertanian Indonesia. Di samping itu kebijakan global dalam pembatasan penggunaan bahan aktif kimiawi pada proses produksi pertanian pada gilirannya nanti akan sangat membebani dunia pertanian di Indonesia. Tingginya tingkat ketergantungan pertanian Indonesia terhadap pestisida kimia akan membawa dampak negatif pada upaya ekspansi komoditas pertanian ke pasar bebas, yang seringkali menghendaki produk bermutu dengan tingkat penggunaan pestisida yang rendah. Dengan demikian secara berangsur-angsur harus segera diupayakan pengurangan penggunaan pestisida kimiawi dan mulai beralih kepada jenis-jenis pestisida hayati yang aman bagi lingkungan.
Pestisida Hayati
Bertolak dari keadaan dunia pertanian Indonesia seperti tersebut di atas maka usaha untuk memproduksi biopestisida di dalam negeri amat memungkinkan. Faktor yang mendukung di antaranya adalah bahwa Indonesia cukup kaya dengan berbagai jenis jasad renik yang spesifik di daerah tropis dan lebih sesuai untuk iklim Indonesia, karena pada umumnya biopestisida dieksplorasi dari berbagai jenis mikroorganisme, yang merupakan musuh alami, sehingga dari ketersediaan bahan baku sangatlah berlimpah. Alam Indonesia yang kaya akan keanekaragaman hayati merupakan sumber daya alam yang potensial untuk dimanfaatkan bagi kesejahteraan rakyat. Jenis jamur Trichoderma harzianum dapat dijadikan produk biofungisida yang efektif untuk mengendalikan jamur penyakit tanaman hortikultura, sayuran maupun tanaman perkebunan dan kehutanan. Jamur Metarrhizium anisopliae dan Beauveria bassiana, B. brongniartii, Verticillium lecanii, Paecilomyces sp., Entomophhthora sp., dan jamur entomopatogen lainnya dapat dijadikan produk-produk bioinsektisida. Produk bioinsektisida dengan bahan aktif jamur-jamur di atas umumnya disebut sebagai produk mikoinsektisida, yang efektif terhadap hama serangga tanaman padi, sayuran, hortikultura, dan perkebunan. Bakteri Bacillus thuringiensis telah dikenal mampu mengendalikan hama serangga pada sayuran, dalam produk yang dikenal petani sebagai racun B.t. Sementara untuk bioherbisida dapat diproduksi dengan bahan aktif berupa spora jamur Fusarium sp. avirulen.Teknologi pembuatan pestisida tidak terlalu sulit untuk diadopsi, dan dapat dikembangkan di dalam negeri. Dari ragam teknologi yang sifatnya sederhana dan murah sampai dengan yang agak canggih dan mahal. Langkah penting berikut adalah usaha untuk memproduksi biopestisida dengan harga relatif murah. Salah satu pemecahan masalah tersebut yaitu dengan memformulasikan kembali bahan baku kualitas analitik yang digunakan di luar negeri serta menggantinya dengan bahan baku lokal, yang harganya relatif lebih murah dan mudah didapatkan.
Bahan Baku Lokal
Menindaklanjuti dasar pemikiran tersebut, maka perlu dilakukan modifikasi terutama untuk substitusi bahan baku lokal, agar dapat diproduksi di dalam negeri dengan biaya produksi yang tidak terlalu mahal dan harga jual yang terjangkau oleh petani. Dari hasil kajian diketahui bahwa komponen bahan baku impor tersebut dapat digantikan dengan jenis bahan yang terdapat di dalam negeri. Contoh, untuk bahan produksi dapat digunakan limbah hasil pertanian seperti onggok tapioka, jerami, limbah jagung, sekam, molase, bagase, dan sebagainya. Banyak jenis sumber daya alam kita (mineral) yang dapat digunakan sebagai bahan untuk formulasi biopestisida, seperti tanah gambut, tanah lempung, dan pasir diatomae. Sejalan dengan pola pikir awal terhadap adaptasi teknologi produksi biopestisida, maka produksi dilakukan dengan menggunakan bahan baku lokal, dalam rangka menekan biaya produksi, tanpa mengurangi kualitas dan efektivitas fungsi dari produk tersebut.Biaya produksi biopestisida yang murah, sudah barang tentu akan menjadikan harga jualnya pun cukup terjangkau oleh petani. Ongkos produksi pertanian dari kebutuhan pestisida yang sebelumnya mencapai 25 – 40 persen dengan menggunakan pestisida kimiawi, kini dapat ditekan menjadi hanya sekitar 8 – 10 persen. Dampak penggunaan biopestisida terhadap kualitas produk secara signifikan dapat meningkatkan nilai jual (ekonomi) produk baik di pasar lokal, regional maupun internasional. Sehingga margin keuntungan petani kita dapat ditingkatkan, dan sudah barang tentu dengan demikian kesejahteraan petani beserta keluarganya dapat meningkat.