Jumat, 18 April 2008

Biopestisida

JUMLAH penduduk Indonesia yang sekarang telah mencapai lebih dari 200 juta jiwa, menyebabkan kebutuhan pangan nasional makin besar. Untuk memenuhinya, maka kapasitas dan produktivitas pertanian Indonesia harus ditingkatkan. Namun upaya peningkatan kapasitas dan produktivitas pertanian Indonesia masih menghadapi beberapa kendala cukup serius, di antaranya serangan hama dan penyakit tanaman.


Sejauh ini kerugian yang dialami sektor pertanian Indonesia akibat serangan hama dan penyakit mencapai miliaran rupiah dan menurunkan produktivitas pertanian sampai 20 persen.Menghadapi seriusnya kendala tersebut, sebagian besar petani Indonesia menggunakan pestisida kimiawi. Upaya tersebut memberikan hasil yang cepat dan efektif. Kenyataan ini menyebabkan tingkat kepercayaan petani terhadap keampuhan pestisida kimiawi sangat tinggi. Sejalan dengan hal itu, promosi dari perusahan pembuat pestisida yang sangat gencar semakin meningkatkan ketergantungan petani terhadap pestisida kimiawi. Seperti halnya kebutuhan pupuk yang terus meningkat, kebutuhan pestisida juga memperlihatkan pertumbuhan tiap tahun. Rata-rata peningkatan total konsumsi pestisida per tahun mencapai 6,33 persen, namun pada kenyataannya di lapangan diperkirakan dapat mencapai lebih dari 10 – 20 persen. Di lain pihak, penggunaan pestisida kimiawi yang berlebihan memberi dampak negatif terhadap lingkungan dan manusia. Keseimbangan alam terganggu dan akan mengakibatkan timbulnya hama yang resisten, ancaman bagi predator, parasit, ikan, burung dan satwa lain. Salah satu penyebab terjadinya dampak negatif pestisida terhadap lingkungan adalah adanya residu pestisida di dalam tanah sehingga dapat meracuni organisme nontarget, terbawa sampai ke sumber-sumber air dan meracuni lingkungan sekitar. Bahkan, residu pestisida pada tanaman dapat terbawa sampai pada mata rantai makanan, sehingga dapat meracuni konsumen, baik hewan maupun manusia. Bahkan akhir-akhir ini diantisipasi adanya kontaminasi pestisida pada air susu ibu. Keracunan akibat kontak langsung dengan pestisida dapat terjadi pada saat aplikasi.


Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sampai tahun 2000 mencatat sedikitnya terjadi tiga juta kasus keracunan pestisida setiap tahun dengan 220.000 korban jiwa. Sejumlah dampak negatif penggunaan pestisida seperti telah disebutkan di atas, mendorong dibuat metode lain yang dapat dilakukan untuk mengurangi penggunaan pestisida dalam usaha pemberantasan hama dan penyakit tanaman. Harga pestisida kimiawi cukup tinggi sehingga membebani biaya produksi pertanian. Dalam hitungan petani, biaya komponen pestisida mencapai 25 – 40 persen dari total biaya produksi pertanian. Tingginya harga pestisida kimiawi tersebut disebabkan bahan aktif pestisida masih diimpor. Depresiasi nilai rupiah terhadap dolar Amerika menyebabkan harga pestisida kimiawi semakin tidak terjangkau oleh petani. Dalam kondisi pertanian Indonesia saat ini dengan harga komponen pestisida yang tinggi, maka dapat diramalkan bahwa usaha tani menjadi tidak menguntungkan karena tidak dapat diandalkan sebagai sumber pendapatan yang layak. Kondisi tersebut tentu saja amat merugikan pembangunan bidang pertanian Indonesia. Di samping itu kebijakan global dalam pembatasan penggunaan bahan aktif kimiawi pada proses produksi pertanian pada gilirannya nanti akan sangat membebani dunia pertanian di Indonesia. Tingginya tingkat ketergantungan pertanian Indonesia terhadap pestisida kimia akan membawa dampak negatif pada upaya ekspansi komoditas pertanian ke pasar bebas, yang seringkali menghendaki produk bermutu dengan tingkat penggunaan pestisida yang rendah. Dengan demikian secara berangsur-angsur harus segera diupayakan pengurangan penggunaan pestisida kimiawi dan mulai beralih kepada jenis-jenis pestisida hayati yang aman bagi lingkungan.


Pestisida Hayati

Bertolak dari keadaan dunia pertanian Indonesia seperti tersebut di atas maka usaha untuk memproduksi biopestisida di dalam negeri amat memungkinkan. Faktor yang mendukung di antaranya adalah bahwa Indonesia cukup kaya dengan berbagai jenis jasad renik yang spesifik di daerah tropis dan lebih sesuai untuk iklim Indonesia, karena pada umumnya biopestisida dieksplorasi dari berbagai jenis mikroorganisme, yang merupakan musuh alami, sehingga dari ketersediaan bahan baku sangatlah berlimpah. Alam Indonesia yang kaya akan keanekaragaman hayati merupakan sumber daya alam yang potensial untuk dimanfaatkan bagi kesejahteraan rakyat. Jenis jamur Trichoderma harzianum dapat dijadikan produk biofungisida yang efektif untuk mengendalikan jamur penyakit tanaman hortikultura, sayuran maupun tanaman perkebunan dan kehutanan. Jamur Metarrhizium anisopliae dan Beauveria bassiana, B. brongniartii, Verticillium lecanii, Paecilomyces sp., Entomophhthora sp., dan jamur entomopatogen lainnya dapat dijadikan produk-produk bioinsektisida. Produk bioinsektisida dengan bahan aktif jamur-jamur di atas umumnya disebut sebagai produk mikoinsektisida, yang efektif terhadap hama serangga tanaman padi, sayuran, hortikultura, dan perkebunan. Bakteri Bacillus thuringiensis telah dikenal mampu mengendalikan hama serangga pada sayuran, dalam produk yang dikenal petani sebagai racun B.t. Sementara untuk bioherbisida dapat diproduksi dengan bahan aktif berupa spora jamur Fusarium sp. avirulen.Teknologi pembuatan pestisida tidak terlalu sulit untuk diadopsi, dan dapat dikembangkan di dalam negeri. Dari ragam teknologi yang sifatnya sederhana dan murah sampai dengan yang agak canggih dan mahal. Langkah penting berikut adalah usaha untuk memproduksi biopestisida dengan harga relatif murah. Salah satu pemecahan masalah tersebut yaitu dengan memformulasikan kembali bahan baku kualitas analitik yang digunakan di luar negeri serta menggantinya dengan bahan baku lokal, yang harganya relatif lebih murah dan mudah didapatkan.


Bahan Baku Lokal

Menindaklanjuti dasar pemikiran tersebut, maka perlu dilakukan modifikasi terutama untuk substitusi bahan baku lokal, agar dapat diproduksi di dalam negeri dengan biaya produksi yang tidak terlalu mahal dan harga jual yang terjangkau oleh petani. Dari hasil kajian diketahui bahwa komponen bahan baku impor tersebut dapat digantikan dengan jenis bahan yang terdapat di dalam negeri. Contoh, untuk bahan produksi dapat digunakan limbah hasil pertanian seperti onggok tapioka, jerami, limbah jagung, sekam, molase, bagase, dan sebagainya. Banyak jenis sumber daya alam kita (mineral) yang dapat digunakan sebagai bahan untuk formulasi biopestisida, seperti tanah gambut, tanah lempung, dan pasir diatomae. Sejalan dengan pola pikir awal terhadap adaptasi teknologi produksi biopestisida, maka produksi dilakukan dengan menggunakan bahan baku lokal, dalam rangka menekan biaya produksi, tanpa mengurangi kualitas dan efektivitas fungsi dari produk tersebut.Biaya produksi biopestisida yang murah, sudah barang tentu akan menjadikan harga jualnya pun cukup terjangkau oleh petani. Ongkos produksi pertanian dari kebutuhan pestisida yang sebelumnya mencapai 25 – 40 persen dengan menggunakan pestisida kimiawi, kini dapat ditekan menjadi hanya sekitar 8 – 10 persen. Dampak penggunaan biopestisida terhadap kualitas produk secara signifikan dapat meningkatkan nilai jual (ekonomi) produk baik di pasar lokal, regional maupun internasional. Sehingga margin keuntungan petani kita dapat ditingkatkan, dan sudah barang tentu dengan demikian kesejahteraan petani beserta keluarganya dapat meningkat.

Minggu, 13 April 2008

Praktek Pengendalian Hayati

Praktek Pengendalian Hayati meliputi,


Introduksi

Augmentasi

Konservasi


1. Introduksi = impor musuh alami ® praktek klasik (awal usaha pengendalian hayati).

Contoh:

*Memasukkan Rodolia cardinalis untuk mengendalikan kutu perisae (Icerya purchasi) pada Jeruk dari Australia ke California.

* Pada tahun 1920 Indonesia memasukkan Pediobius parvulus dari Fiji untuk mengendalikan hama kumbang Promecotheca reichei yang menyerang kelapa.

* Pada Tahun 1988-1990 introduksi Curinus careolius dari Hawai untuk mengendalikan kutu loncat Hetropsylla.

Introduksi antar pulau di Indonesia

1. Pemasukan parasitoid Tetrastichus brontispae dari pulau Jawa ke Sulawesi Selatan dan Utara untuk mengendalikan Brontispa longissima.

2. Parasitoid telur Leefmansia bicolor dari pulau Ambon ke pulau Talaud untuk mengendalikan Sexava; dan Parasitoid Chelonus sp. dari Bogor ke Flores untuk mengendalikan hama bunga kelapa Batrachedra arenosella.

Introduksi parasit/ parasitoid dari luar daerah (eksotik) bertujuan:

a. Mengisi kekosongan niche (relung) pada sistem kehidupan hama, terutama terhadap hama pendatang (migran). Hama pendatang akan cepat berkembang di lingkungan baru karena tidak ada musuh alami.

b. Musuh alami yang ada di daerah setempat tidak memiliki kemampuan kuat untuk mengendalikan hama. Dengan memasukkan pengendali alami dari daerah lain yang memiliki kemampuan kuat untuk mengatur perkembangan populasi hama (pergantian kompetitif) dapat menekan pop. hama.

Ada beberapa langkah klasik dalam introduksi musuh alami:

1. Penjelajahan atau eksplorasi luar negeri

2. Pengiriman parasitoid dan predator dari luar negeri

3. Karantina parasitoid dan predator yang diimpor di dalam negeri

4. Perbanyakan parasitoid dan predator di laboratorium.

5. Pelepasan dan pemapanan

6. Evaluasi.

Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam introduksi musuh alami.

1.Teknik introduksi umumnya hanya berhasil digunakan untuk hama eksotik, sedang pada hama asli kurang berhasil.

2. Keberhasilan tergantung pada stabilitas agro-ekosistem, misal pada tanaman tahunan biasanya memiliki stabilitas agroekosistem sehingga musuh alami yang diintroduksi diharapkan dapat berkembang dan mapan pada ekosistem baru . Contoh penggunaan musuh alami untuk mengendalikan hama-hama di perkebunan.

2. Augmentasi (peningkatan)

Tujuan augmentasi adalah untuk meningkatkan jumlah musuh alami atau pengaruhnya. Hal itu dapat dicapai dengan melepaskan sejumlah tambahan musuh alami ke ekosistem atau memodifikasi ekosistem sehingga jumlah dan efektifitas musuh alami (m.a.)dapat ditingkatkan.

Teknik augmentasi biasanya bertujuan menekan populasi hama secara sementara atau berjangka waktu pendek sedangkan introduksi berjangka panjang.

Menurut Strehr (1982) pelepasan periodik augmentatik dilakukan dalam tiga cara:

1. Pelepasan inokulatif: Pelepasan m.a. hanya sekali, diharapkan m.a. dapat berbiak dan menyebar.

2. Pelepasan suplemen, m.a. dilepaskan apabila perkembangan populasi hama lebih cepat dari m.a. Bertujuan mengembalikan fungsi m.a.

3. Pelepasan massal (inundatif), bertujuan menurunkan populasi hama secara cepat, sehingga sering disebut sebagai penggunaan insektisida biologik.

3. Konservasi musuh alami, bertujuan menghindarkan tindakan yang dapat menurunkan populasi m.a.

Sebagai contoh menggunakan insektisida secara selektif.

Pengendalian Hayati dengan patogen hama

Dengan cara:

1. Memanfaatkan secara maksimal proses pengendalian alami oleh patogen. Menjaga ekosistem supaya patogen berfungsi secara “density dependent”

2. Introduksi dan aplikasi patogen hama sebagai faktor mortalitas tetap. Teknik yang digunakan adalah dengan cara memasukkan dan menyebarkan patogen. Agar patogen dapat bwrkembang diperlukan syarat adanya kepadatan pop. inang tinggi (hama dengan AE tinggi), sehingga cukup bagi perkembangan awal patogen.

3. Aplikasi patogen sebagai insektisida mikroba, bertujuan menekan populasi hama sementara waktu. Contoh penggunaan NPV terhadap Helicoverpa armigera, Agrotis ipsilon) dan Bacillus thuringiensis terhadap Leptinotarsa decemlineata (menyerang umbi kentang), Agrotis ipsilon, Darna trima. Cendawan Mettarizium anisopliae terhadap Helicoverpa armigera, Agrotis ipsilon, Oryctes rhinoceros, Spodoptera litura.

Keuntungan penggunaan insektisida mikroba adalah:

a. berspektrum sempit

b. khas inang

c. aman bagi lingkungan

d. tidak membunuh binatang bukan sasaran

Keuntungan pengendalian hayati adalah: permanen, aman dan ekonomik.


Pengendalian Hayati dalam Pertanian

Pengendalian hayati pada dasarnya adalah usaha untuk memanfaatkan dan menggunakan musuh alami sebagai pengendali populasi hama yang merugikan.Pengendalian hayati sangat dilatarbelakangi oleh berbagai pengetahuan dasar ekologi, terutama teori tentang pengaturan populasi oleh pengendali alami dan keseimbangan ekosistem.

Musuh alami dalam fungsinya sebagai pengendali hama bekerja secara tergantung kepadatan, sehingga keefektifannya ditentukan pula oleh kehidupan dan perkembangan hama yang bersangkutan. Ketersediaan lingkungan yang cocok bagi perkembangan musuh alami merupakan prasarat akan keberhasilan pengendalian hayati. Perbaikan teknologi introduksi, mass rearing dan pelepasan di lapangan akan mendukung dan meningkatkan fungsi musuh alami (Untung, 1993).


Pengendalian Hayati:

  1. Adalah taktik pengelolaan hama yang dilakukan secara sengaja dengan memanfaatkan atau memanipulasikan musuh alami untuk menurunkan atau mengendalikan populasi hama.
  2. Usaha pengendalian hama yang mengikutsertakan organisme hidup, oleh karena itu pengendalian hama dengan teknik jantan mandul, varietas tahan hama, dan manipulasi genetik termasuk dalam pengertian pengendalian hayati.

Pengendalian alami:

* Proses pengendalian hama yang berjalan secara sendiri tanpa ada campur tangan manusia.

* Huffaker et. al. (1971): Penjagaan jumlah populasi suatu organisme dalam kisaran limit atasdan bawah tertentusebagai hasil dari tindakan keseluruhan lingkungan baik lingkungan biotik maupun abiotik. Oleh karena itu pengendalian alami disebut pula sebagai keseimbangan alami (balance of nature)

Agens Pengendali Hayati

  1. Parasit atau Parasitoid
  2. Predator
  3. Jasad Renik Patogenik
  4. Agens pengendali hayati pada gulma air.

Parasit atau Parasitoid

Parasit adalah binatang yang hidup di atas atau di dalam tubuh binatang lain yang berukuran lebih besar sebagai inangnya. Parasit makan dan mengisap cairan tubuh inang, sehingga menyebabkan inang menjadi lemah dan akhirnya mati. Parasit berkembang menjadi dewasa hanya memerlukan satu inang.

Parasitoid adalah serangga yang memparasit serangga lain atau artropoda lain. Fungsi sebagai parasit hanya terbatas pada fase pradewasa, sedangkan fase dewasanya hidup bebas tidak terikat inangnya.

Ekto parasitoid: Parasitoid yang makan dan berkembang di luar tubuh inang.

Endo parasitoid: Parasitoid yang sebagian besar siklus hidupnya terjadi di dalam tubuh inang.

Predator

Adalah organisme hidup bebas dengan memakan atau memangsa binatang lainnya. Organisme/ binatang yang dimangsa disebut prey.




Jasad renik

pathogenik adalah jenis-jenis patogen yang berupa bakteri, virus, cendawan, nematoda, protozoa, dan microsporidia yang menyerang serangga hama.


Sabtu, 12 April 2008

Waspada Virus Baru Padi

BANDAR LAMPUNG,Untuk meningkatkan produksi beras, benih padi hibrida impor asal China sebanyak 25 ton sudah tiba di Lampung. Namun demikian, Balai Karantina Tumbuhan Kelas I Panjang masih mewaspadai benih itu karena diduga membawa dua virus tanaman padi endemik dari China.

“Pemasukan benih padi hibrida asal China itu patut diwaspadai karena di negara tersebut terdapat organisme pengganggu tumbuhan karantina golongan I yang belum terdapat di Indonesia. Yaitu Rice Dwarf stunt Virus (RDV) dan Rice Stripe Virus (RSV),” kata Kepala Balai Karantina Tumbuhan Kelas I Panjang Hermansyah, distributor benih padi impor asal China itu.

Menurut Hermansyah, sebelum dibawa ke Indonesia benih padi itu sudah diuji secara sampling di laboratorium di China atau preshipment inspection. Sesuai hasil uji laboratorium, benih padi yang diuji itu tidak mengandung dua virus endemik asal China itu. Namun demikian, Balai Karantina Tumbuhan tetap mewaspadai pemasukan dan penyebaran dua virus itu yang dibawa bersama-sama benih padi impor yang lainnya.

Dalam literatur organisme pengganggu tumbuhan dari China, apabila dua virus tersebut menyebar dan menyerang tanaman padi, maka produksi padi lokal bisa turun. Serangan virus RDV akan menyebabkan tanaman padi lokal menjadi kerdil. Sedangkan serangan virus RSV akan menyebabkan daun tanaman padi benih lokal menjadi bergaris-garis dan bulir padi hampa sehingga produksi padi menurun.

Pejabat Fungsional pengendali OPT Balai Besar Karantina Tumbuhan Departemen Pertanian M Achrom mengatakan, melihat dampak dari benih padi impor itu, Balai Karantina Tumbuhan bersama-sama dengan Dinas Pertanian Lampung akan mengawasi pendistribusian benih padi impor itu. Yaitu mulai dari pendistribusian kepada kelompok tani, penanaman di sawah, hingga pemanenan.

”Pengawasan dilakukan supaya virus dari daerah endemik tidak berpindah ke daerah non endemik dan menulari,” kata Achrom. Selain itu, benih yang didatangkan tersebut merupakan benih FS atau benih sekali tanam. Sehingga pengawasan mesti dilakukan supaya bulir padi yang dipanen tidak akan dijadikan benih pada penanaman selanjutnya.

Untuk benih induk yang bisa ditangkarkan untuk memproduksi benih, direncanakan Departemen Pertanian akan kembali memasukkan benih impor induk asal China. Langkah memasukkan benih padi impor asal China saat ini merupakan bagian dari upaya Departemen Pertanian meningkatkan produksi beras nasional sebesar dua juta ton.

Untuk mendukung upaya tersebut, Departemen Pertanian mengimpor 1.200 ton benih padi hibrida asal China. Sampai sekarang yang sudah masuk ke wilayah Indonesia sekitar 700 ton melalui Tanjung Priok dan Tanjung Perak. Dari padi sebanyak 700 ton itu, sekitar 675 ton masuk melalui Tanjung Perak untuk memenuhi kebutuhan Jawa Timur. Sedangkan sisanya 25 ton masuk ke Lampung untuk memenuhi kebutuhan Lampung.

Berdasarkan uji coba yang sudah dilakukan di Kota Agung, Kabupaten Tanggamus dan Rawajitu Kabupaten Tulang Bawang, penggunaan benih padi hibrida tersebut sangat efisien. Per hektar hanya dibutuhkan benih sebanyak 15 kilogram dengan produktivitas 8 ton gabah kering giling (GKG) per hektar. Sementara apabila petani menanam padi dengan benih padi biasa, per hektar lahan dibutuhkan 25—30 kilogram benih dengan produktivitas 4—5 ton GKG per hektar.

Atasi Hama Belalang secara Organik


Beberapa waktu lalu (Maret hingga awal April) hama belalang menyerang lahan pertanian di Kecamatan Kupang barat, Kabupaten Kupang. Sekitar 177 hektar padi gogo dan tanaman lainnya yang tersebar di Desa Tesabela, Sumlili dan Oematnunu, dilaporkan telah terserang dan kemungkinan besar mengalami gagal panen. Seperti dilaporkan sebuah media nasional, meluasnya penyebaran hama belalang diperkirakan akan mengurangi hasil produksi padi sampai 70 persen dan bisa berdampak buruk pada ketahanan pangan. Dari tiga desa yang terserang, Desa Tesabela mengalami kerugian terbesar, 30-40 hektar lahan dalam kondisi kritis. Serangan hama belalang tersebut telah menambah penderitaan masyarakat NTT. Sedikitnya, 15 kabupaten mengalami krisis pangan karena gagal panen akibat kekeringan berkepanjangan sehingga masyarakat terpaksa mengkonsumsi makanan non beras seperti putak, biji asam, kacang hutan, jagung, dan ubi-ubian.

Meski jenis makanan ini sudah menjadi makanan alternatif, tetapi ada kekhawatiran dari para ahli gizi bahwa anak-anak dan balita akan mengalami kurang gizi, pertumbuhan tidak normal terserang penyakit busung lapar, gangguan saluran pencernaan dan penyakit lainnya. Dalam upaya yang bersifat sementara, pemerintah melakukan pemberantasan belalang menggunakan insektisida. Sedangkan warga secara tradisional melakukan penangkapan untuk mengurangi populasi hama. Namun, disamping insektisida kimia dapat membantu manusia dalam mengatasi gangguan hama, ternyata aplikasinya dapat menimbulkan dampak negatif, seperti resistensi, resurgensi, residu, ledakan hama sekunder, matinya musuh alami dan pencemaran lingkungan.

Insektisida Alami
Insektisida nabati tentunya dapat digunakan sebagai alternatif pengendalian serangga. Bahan alami itu memenuhi beberapa kriteria yang diinginkan, yaitu aman, murah, mudah diterapkan petani dan efektif membunuh hama serta memiliki keuntungan mudah dibuat. Bahan dari nabati ini juga mudah terurai (biodegradable) sehingga tidak mencemari lingkungan dan relatif aman bagi manusia dan ternak karena residunya mudah hilang.

Salah satu tanaman yang memiliki senyawa yang dapat digunakan sebagai insektisida nabati yaitu daun sirsak. Bagian dari tanaman sirsak yang digunakan adalah daun dan biji. Daun sirsak mengandung senyawa acetogenin, antara lain asimisin, bulatacin dan squamosin. Pada konsentrasi tinggi, senyawa acetogenin memiliki keistimewaan sebagai anti-feedent. Dalam hal ini, hama serangga tidak lagi bergairah untuk melahap bagian tanaman yang disukainya. Sedangkan pada konsentrasi rendah, bersifat racun perut yang bisa mengakibatkan hama serangga menemui ajalnya. Ekstrak daun sirsak dapat dimanfaatkan untuk menanggulangi hama belalang dan hama-hama lainnya.

Dalam makalah berjudul Controlling Locusts with Plant Chemicals, disebutkan bahwa seperti spesies serangga lain, belalang mengalami proses evolusi bersama tanaman selama lebih dari 350 juta tahun. Serangga phytophagous telah mempelajari bagaimana menghindari racun tanaman dan tanaman pun selalu membangun strategi pertahanan dengan produk kimia alaminya. Beberapa sifat botani tersebut merupakan alternatif sebagai insektisida. Seperti Meliaceae tropis, Azadirachta indica (mimba) dan Melia volkensii yang tersebar di Afrika Timur, bermanfaat sebagai sumber penghambat perkembangan serangga (termasuk belalang). Kandungan bioaktif yang ditemukan di dalamnya adalah grup azadirachtins, yang bercampur dengan neuroendocrine hormon, untuk mengontrol pertumbuhan tubuhnya, metamorfosis dan reproduksi.

Produk tanaman yang dianalisa bercampur di antara metabolisme dan proses yang melawan belalang tanpa menggunakan tekanan yang membahayakan manusia dan binatang lain. Ekstrak buah mentah M. volkensii selalu berhasil dalam mengontrol pergerakan dan mengusir belalang (Locusta migratoria). Ultra-Low Volume (ULV) memformulasikan 1000 ppm ekstrak etanol buah M. volkensi. Dengan menggunakan perbandingan 10 liter per hektar hasilnya mampu menghamat dan menghilangkan perkembangan belalang. Hasil menarik lainnya adalah keikutsertaan ekstrak dalam fase formasi, yaitu mengusir belalang, menahan fase soliter dan menghambat pergerakan dalam fase berkelompok. Yang terpenting juga, insektisida alami ini tidak meracuni mamalia ataupun burung.

Jumat, 11 April 2008

KONSERVASI dan PENINGKATAN musuh alami untuk perlindungan tanaman

Strategi ini berbeda sekali dengan dua strategi pengendalian hayati lainnya yaitu augmentasi dan introduksi musuh alami. Pada strategi ini musuh alami tidak dilepas di lapang akan tetapi musuh alami yang telah ada dikonservasi dan ditingkatkan jumlahnya di lapang. Definisi strategi ini telah banyak diberikan oleh beberapa ahli dibidang pengendalian hayati seperti DeBach (1964), Barbosa (1998) dan Eilenberg et al. (2001) yaitu :


Modification of the environment or existing practices to protect and enhance specific natural enemies or other organisms to reduce the effect of pests

(Modifikasi lingkungan dan praktek budidaya yang sudah ada bertujuan untuk melindungi dan meningkatan musuh alami tertentu atau organisme lain untuk mengurangi dampak hama)


Strategi pertama kali dikembangkan untuk konservasi musuh alami yang terkena dampak negatif akibat penggunaan insektisida senyawa sintetik (van den Bosch & Telford, 1964). Strategi ini pada awalnya merupakan pendekatan pasif dan selalu dikaitkan dengan pengendalian jangka panjang hama. Pendekatan ini juga tidak begitu cocok untuk diterapka pada tanaman yang mempunyai nilai tinggi (high value crops) yang mempunyai toleransi rendah terhadap kerusakan yang kecil (ambang ekonomi rendah).

Biologi, perilaku dan ekologi dari hama dan musuh alami adalah fundamental yang dibutuhkan dan dipahami didalam penerapan strategi ini. Untuk mengembangkan konservasi dan peningkatan musuh alami yang efektif kita memerlukan pemahaman yang holistic tentang factor-faktor yang berpengaruh terhadap populasi musuh alami dan kemampuan musuh alami untuk mengendalikan hama. Dengan kata lain factor pembatas bagi peningkatan populasi musuh alami harus bisa diidentifikasi sehingga kita bisa melakukan manipulasi untuk meningkatkan populasi alami atau memfasilitasi interaksi antara musuh alami dan hama.

DAMPAK PERUBAHAN IKLIM PADA SEKTOR PERTANIAN


Perubahan iklim global akan mempengaruhi setidaknya tiga unsur iklim dan komponen alam yang sangat erat kaitannya dengan pertanian, yaitu: (a) naiknya suhu udara yang juga berdampak terhadap unsur iklim lain, terutama kelembaban dan dinamika atmosfer, (b) berubahnya pola curah hujan dan makin meningkatnya intensitas kejadian iklim ekstrim (anomali iklim) seperti EI-Nino dan La-Nina, dan (c) naiknya permukaan air laut akibat pencairan gunung es di kutub utara.

Peningkatan Suhu Udara

Laju akumulasi fotosintat bersih untuk kebanyakan tanaman tropik, terutama yang termasuk ke dalam kelompok tanaman C-III, cenderung turun dengan meningkatnya suhu udara. Oleh sebab itu, peningkatan suhu akibat perubahan iklim sangat berpengaruh terhadap produktivitas tanaman, terutama tanaman semusim dan meningkatnya serangan hama penyakit.

Kejadian Iklim Ekstrim (Anomali)

Selain menurunkan produktivitas, pergeseran musim dan peningkatan intensitas kejadian iklim ekstrim, terutama kekeringan dan kebanjiran, juga menjadi penyebab penciutan dan fluktuasi luas tanam serta memperluas areal pertanaman yang akan gaga I panen, terutama tanaman pangan dan tanaman semusim lainnya. Oleh sebab itu perubahan iklim dan kejadian iklim ekstrim seperti EI-Nino dan La-Nina akan mengancam ketahanan pangan nasional, dan keberlanjutan pertanian pada umumnya. Sebagai gambaran, satu kali kejadian EI-Nino (Iemah-sedang) dapat menurunkan produksi padi nasional sebesar 2-3%. Jika iklim ekstrim diikuti oleh peningkatan suhu udara maka penurunan produksi padi akan lebih tinggi.

Peningkatan Permukaan Air Laut

Selain akan menciutkan luas lahan pertanian akibat terendam air laut, peningkatan permukaan air laut juga akan meningkatkan salinitas (kegaraman) tanah sekitar pantai. Salinitas pada tanah bersifat racun bagi tanaman sehingga mengganggu fisiologis dan fisik pada tanaman, kecuali tanamanjtumbuhan laut dan pantai atau varietas adaptif. Salinitas pada padi sangat erat kaitannya dengan keracunan logam berat, terutama Fe dan AI. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai garis dan hamparan pantai yang sangat panjang, sehingga penciutan lahan pertanian akibat peningkatan permukaan air laut menjadi sangat luas.

STRATEGI ANTISPASI DAN PENANGGULANGAN

Untuk menghadapi penyimpangan iklim, Departemen Pertanian telah menyusun strategi antisipasi dan penanggulangan yang dipilah atas: (a) strategi antisipasi, (b) strategi mitigasi, dan (c) strategi adaptasi.

Strategi antisipasi ditujukan untuk menyiapkan strategi mitigasi dan adaptasi berdasarkan kajian dampak perubahan iklim terhadap (a) sumberdaya pertanian seperti pola curah hujan dan musim (aspek klimatologis), sistem hidrologi dan sumberdaya air (aspek hidrologis), keragaan dan penciutan luas lahan pertanian di sekitar pantai; (b) infrastrukturjsarana dan prasarana pertanian, terutama sistem irigasi, dan waduk; (c) sistem produksi pertanian, terutama sistem usahatani dan agribisnis, pola tanam, produktivitas, pergeseran jenis dan varietas dominan, produksi; dan (d) aspek sosial-ekonomi dan budaya.

Berdasarkan kajian tersebut ditetapkan strategi yang harus ditempuh Dalam upaya: (a) mengurangi laju perubahan iklim (mitigasi) melalui penyesuaian dan perbaikan aktivitasjpraktek dan teknologi pertanian, dan (b) mengurangi dampak perubahan iklim terhadap sistem dan produksi pertanian melalui penyesuaian dan perbaikan infrastruktur (sarana dan prasarana) pertanian dan penyesuaian aktivitas dan teknologi pertanian (adaptasi).

Strategi mitigasi. Walaupun tidak sepenuhnya benar, sebagai emitor terbesar oksigen (0) dari hutan dan areal pertaniannya, Indonesia juga dituding sebagai negara terbesar ketiga dalam mengemisi GRK, terutama dari sistem pertanian lahan sawah dan rawa, kebakafan hutan/lahan, emisi dari lahan gambut. Oleh sebab itu, Indonesia dituntut (sesuai dengan Kiyoto Protocol) untuk senantiasa berupaya mengurangi (mitigasi) GRK, antara lain melalui: ,(a) CDM (Clear; Development Mechanism) (b) perdagangan karbon (carbQn trading) melalui pengembangan teknologi budidaya yang mampu menekan emisi GRK, dan (c) penerapan teknologi budidaya seperti penanaman varietas dan pengelolaan lahan dan air dengan tingkat emisi GRK yang lebih rendah
Indonesia juga dituding sebagai negara terbesar ketiga dalam mengemisi GRK, terutama dari sistem pertanian lahan sawah dan rawa, kebaka~an hutan/lahan, emisi dari lahan gambut. Oleh sebab itu, Indonesia dituntut (sesuai dengan Kiyoto Protocol) untuk senantiasa berupaya mengurangi (mitigasi) GRK, antara lain melalui: .(a) CDM (Clear; Development Mechanism) (b) perdagangan karbon (carbQn trading) melalui pengembangan teknologi budidaya yang mampu menekan emisi GRK, dan (c) penerapan teknologi budidaya seperti penanaman varietas dan pengelolaan lahan dan air dengan tingkat emisi GRK yang lebih rendah.

Strategi adaptasi adalah pengembangan berbagai upaya yang adaptif dengan situasi yang terjadi akibat dampak perubahan iklim terhadap sumberdaya infrastruktur dan lain­lain melalui (a) reinventarisasi dan redelineasi potensi dan karakterisasi sumberdaya lahan dan air; (b) penyesuaian dan pengembangan infrastruktur pertanian, terutama irigasi sesuai dengan perubahan sistem hidrologi dan potensi sumberdaya air; (c) penyesuaian sistem usahatani dan agribisnis, terutama pola tanam, jenis tanaman dan varietas, dan sistem pengolahan tanah.

PROGRAM AKSI DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Menghadapi perubahan iklim yang akan mengancam keberlanjutan pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian sejak 2007 telah menetapkan berbagai langkah antisipasi, antara lain melakukan kajian dan penelitian tentang dampak perubahan iklim, mengidentifikasi dan mengembangkan teknologi adaptif seperti varietas unggul berumur genjah, toleran salinitas, toleran kekeringan, toleran genangan, dan tahan hama penyakit, teknologi budidaya (pengelolaan lahan/tanah, air, tanaman dan organisme), dan mengembangkan berbagai teknologi pengelolaan dan pemanfaatan air.

Mulai tahun 2008, Departemen Pertanian akan meluncurkan program penelitian dan pengembangan terpadu tentang kajian dampak, penyiapan strategi dan teknologi dalam menghadapi perubahan iklim global. Program tersebut dikemas dalam bentuk konsorsium yang melibatkan berbagai lembaga penelitian dan perguruan tinggi, yang dikoordinasikan oleh Badan Litbang Pertanian.

INOVASI TEKNOLOGI MITIGASI PERU BAHAN IKLlM

A. Varietas Unggul Rendah Emisi GRK

Padi sawah termasuk salah satu sumber utama emisi gas metan, dengan volume E}I1lisi berkisar antara 20-100 Tg CH4 per tahun (IPCC 1992). Indonesia dengan luas areal tanam padi sawah 10,6 juta ha diperkirakan menyumbang sekitar 1 % dari total emisi gas metan global (Neue dan Roger, 1993).

Emisi gas metan dari lahan sawah ditentukan oleh perbedaan sifat fisiologi dan morfologi varietas padi. Kemampuqp varietas mengemisi gas CH4 bergantung kepada rongga aer'enkhima, jumlah anakan, biomassa, sistem perakaran, dan aktivitas metabolisme. Penelitian pad a lahan sawah tadah hujan dalam peri ode 1996-2000 menunjukkan varietas Ciherang, Cisantana, Tukad Balian, dan Way Apo Buru menghasilkan emisi gas CH4 yang rendah. Keempat varietas juga tahan terhadap hama dan penyakit utama, antara lain wereng coklat biotipe 2 dan biotipe 3.

CIHERANG

Umur tanaman : 116-125 hari
Tekstur nasi : Pulen
Kadar amilosa : 23%
Rata-rata hasil : 6,0 t/ha
Potensi hasil : 8,5 t/ha
Ketahanan terhadap
- Hama : Tahan wereng coklat biotipe 2 dan agak tahan biotipe 3
- Penyakit Tahan hawar daun bakteri strain III dan IV
Anjuran tanam : : Di lahan sawah irigasi dataran rendah sampai 500 m dpl
Dilepas tahun : 2000

CISANTANA

Umur tanaman : 118 hari
Tekstur nasi : Pulen
Kadar amilosa : 23,0%
Rata-rata hasil : 5,0 t/ha
Potensi hasil : 7,0 t/ha
Ketahanan terhadap
- Hama : Agak tahan wereng cokelat biotipe 2 dan 3
- Penyakit : Cukup tahan hawar daun bakteri strain III dan rentan strain IV
Anjuran tanam : Di lahan sawah irigasi dataran rendah sampai 500 m dpl, dapat ditanam pada lahan irigasi kurang subur
Dilepas tahun : 2000

TUKAD BALIAN

Umur tanaman : 105-115 hari
Kadar amilosa : 21%
Rata-rata hasil : 4,0 t;ha
Potensi hasil : 7,0 t;ha
Ketahanan terhadap
- Hama : Agak tahan twereng cokelat biotipe 3
- Penyakit : Agak tahan hawar daun bakteri strain VIII, tahan penyakit tungro
Anjuran tanam : Dapat dikembankan di daerah endemik tungro, khususnya Bali dan NTB
Dilepas tahun : 2000

WAY APO BURU

Umur tanaman : 115-125 hari
Tekstur nasi : Pulen
Kadar amilosa : 23%
Rata-rata hasil : 5,5 t/ha
Potensi hasil : 8,0 t/ha
Ketahanan terhadap
- Hama : Tahan wereng coklat biotipe 2 dan rentan biotipe 3
- Penyakit : Tahan hawar daun bakteri strain III dan IV
Anjuran tanam : Di lahan sawah irigasi dataran rendah sampai sedang (600 m dpl)
Dilepas tahun : 1998

B. Teknolgi Pemupukan, Pengelolaan Tanah dan Air

Emisi gas metan dapat direduksi hingga 17,3% dengan penggunaan pupuk ZA, sedangkan dengan pupuk urea pril hanya mereduksi 8,0% dibandingkan dengan pertanaman padi tanpa pupuk urea.

Teknologi tanpa olah tanah mampu mereduksi laju emisi gas metan 31,5-63,4% dibanding teknologi olah tanah sempurna. Demikian juga teknologi irigasi berselang (intermintten irrigation), selain menghemat air, juga berperan dalam mereduksi emisi gas matan 34,3-63,8% dibandingkan dengan pertanaman yang digenangi terus-menerus.